KHUSYU’ ATAU KASAK-KUSUK
(Dan shalat itu sungguh sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu” Al Baqarah 45)
Tidaklah aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk menyembah Aku. Demikian surat Al-zdariyat ayat 56 menjelaskan. Tugas seorang hamba adalah untuk berbakti dan mengabdi kepada Tuhannya. Salah satu bentuk pengabdian manusia sebagai hamba Allah adalah mendirikan shalat. Kewajiban shalat diterima langsung oleh Nabi Muhammad Saw pada peristiwa Isra dan Mi’raj malam 27 Rajab tahun kedua hijrah. Dalam Islam shalat adalah rukun Islam yang kedua. Ulama fikih mendefinisikan shalat yaitu perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Ada lima kali sehari semalam kewajiban shalat difardhukan kepada setiap orang Islam yang mukallaf.
Banyak dalil-dalil baik Alquran maupun hadits nabi yang menjelaskan tentang kewajiban shalat. Penyebutan dalil tentang kewajiban shalat tersebut di dalam Al Qur”an secara umum yang kemudian dijelaskan secara rinci oleh Nabi Muhammad Saw dalam hadist-haditsnya. Seperti dalam firman Allah “Dirikan shalat”, yang kemudian dijelaskan oleh Rasulullah Saw, shalatlah kamu sebagaimana engkau melihat aku shalat. Karena itu para shahabat banyak meriwayatkan hadts tentang shalat, baik yang didengar maupun yang dilihat oleh para shahabat tentang sifat-sifat shalat rasulullah kemudian menyampaikannya kepada shabat-shahabat yang lainnya. Seorang shahabat yang dianggap mirip shalatnya dengan rasul adalah Abdullah bin Mas’ud. Beliau tinggal dan mengabdi kepada rasulullah serta sering mengikuti beliau bepergian.
Shalat merupakan ibadah yang menjadi perhatian rasul dan mendapat urutan pertama diperiksa di akhirat nanti. Beliau bersabda, yang pertama dihisab di akhirat nanti adalah shalat. Jika shalatnya baik, maka akan baik pula ibadah yang lainnya. Sebaliknya jika shalatnya rusak, maka ibadah lainnya akan rusak pula. Karena itu shalat harus dikerjakan sesuai dengan syarat dan rukunnya.
Menurut ulama, selain memenuhi syarat dan rukunnya, shalat juga harus dilaksanakan dengan khusyu’. Para ulama berbeda dalam memberikan pengertian khusyu’ di dalam shalat. Imam Ghazali berpendapat khusyu’ dilakukan dengan menghadirkan hati (konsentrasi) hanya tertuju pada shalat, kemudian berusaha memahami apa yang sedang dibaca, menimbulkan rasa ta’zhim dan membesarkan Allah, merasa dirinya sangat kecil di hadapan Allah, menimbulkan rasa khauf (takut) dan raja (harap). Khauf adalah suatu perasaan takut kalau shalat yang sedang dikerjakannya tidak diterima. Sedangkan raja adalah sebuah harapan bahwa ibadah yang sedang dikerjakannya dapat diterima dan diridha’i oleh Allah Swt. Namun ada lagi yang memahami khusyu’ itu secara sederhana yaitu bila anggota tubuhnya saat shalat terlihat dalam keadaan tenang. Tidak ada gerakan selain gerakan shalat yang diperlukan, itupun sudah dikategorekan khusyu’. Lembutnya hati, redupnya hasrat yang bersumber dari hawa nafsu dan halusnya hati karena Allah Swt sehingga menjadi bersih dari rasa sombong dan angkuh. Kondisi seperti ini akan menumbuhkan perasaan sedang berada di hadapan Allah Yang Maha Besar. Terlebih lagi saat mengucapkan takbir “Allahu Akbar” Dialah Yang Maha Kuasa, Dia yang menciptakan kita, Dia pula yang menghidupkan, memberi rezeki, memberi kekuasaan, kemuliaan dan di tangannyalah segala urusan kita. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa khusyu’ di dalam shalat adalah mengkonsentrasikan jiwanya sambil mengabaikan segala yang tidak ada hubungannya dengan shalat. Menurut Abu Sungkan yang dikutip oleh Muhammad sholeh, khusyu’ itu bukan konsentrasi, melainkan dekonsentrasi. Beliau mengilustrasikan khusyu’ dapat terjadi karena adanya perpaduan potensi otak kiri dan otak kanan sebagaimana orang yang sedang mengendarai mobil. Kopling diinjak, masukkan gigi satu, kemudian lepaskan pedal kopling pelan-pelan, dengan perasaan. Pada mulanya terasa kaku dan tersendat-sendat. Tetapi jika terus dilatih, maka akan terjadi perpaduan antara otak kiri dengan otak kanan. Kemudian otak kiri akan mengikuti otak kanan yang jauh lebih cerdas yang mengetahui keadaan di sisi kiri dan kanan mobil. Otak kanan mampu menghitung kapan menyalib mobil di depannya, bagaimana mengerem tanpa membuat orang terjungkal. Otak kanan tidak liar lagi karena telah terpadu dengan otak kiri yang mampu mengikuti imajinasi pikiran. Dengan sentuhan emosi dan perasaan, membawa mobil menjadi halus dan seimbang. Inilah yang dimaksudkan dengan istilah dekonsentrasi bukan konsentrasi.
Menurut Zakiah Darajat seseorang yang khusyu’ dalam shalatnya itu adalah orang yang merasakan bahwa dirinya sedang berhadapan dengan Allah. Kendatipun ia tidak melihat Allah, tetapi hatinya tahu bahwa Allah melihatnya.
Untuk menuju shalat yang khusyu’ perlu latihan yang intensif. Tidak mungkin shalat khusyu’ diperoleh tanpa usaha yang sungguh-sunggguh. Membiasakan fokus pada sesuatu yang sedang dihadapi perlu keinginan yang keras dan kemauan yang teguh.Banyak cerita lucu yang sering dilontarkan saat memulai shalat, begitu takbiratul ihram diucapkan, muncul peristiwa-peristiwa yang sebelumnya tidak terlintas dalam pikiran. Bahkan lupa meletakkan sesuatu muncul ingatannya saat shalat. Ini merupakan gambaran betapa banyaknya godaan ketika melakukan shalat. Karena itu sebagian ulama yang memberikan petunjuk bahwa ada dua hal membuat kita tidak dapat konsentrasi di dalam shalat. Ada faktor yang datangnya dari dalam diri kita sendiri dan ada pula yang datangnya dari luar diri kita. Hal-hal yang datang dari dalam diri kita seperti shalat dalam kondisi menahan buang air, menahan kentut dan lain lainnya, sehingga pikiran terganggu dan terkadang anggota badan pun terlihat kasak-kusuk seperti mau cepat-cepat selesai. Sedangkan yang datang dari luar, maksudnya yang ada disekitar kita.Misalnya shalat dimenghadap ke tembok yang dipenuhi gambar atau tulisan-tulisan, jemuran di belakang rumah yang kehujanan. Kesemuanya itu membuat pikiran melayang-layang dan terkadang merencanakan sesuatu, sehingga tidak sadar lagi bahwa ia tengah melaksanakan shalat. Kondisi seperti ini bukan khusyu’ tetapi namanya kasak-kusuk. Semoga bulan Ramadhan yang penuh berkah ini mendidik kita untuk menuju shalat yang lebih khusyu” lagi. Amin. (6 Ramadhan 1440 H)